Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Cinta Romantis | Kala Cinta Menyapa ~ 04 /13

Masih lanjutan dari cerbung Kala Cinta menyapa Part 04. Kisah seputar hubungan antara Erwin dan Rani yang merupakan cerpen requesan. Yang penasaran gimana lanjutannya. Untuk yang baru nemu cerpen ini, biar nyambung bagusan baca dulu bagaian sebelum dalam cerpen kala cinta menyapa bagian 3. Yang jelas selamat membaca aja ya...

Kala Cinta Menyapa
Kala Cinta Menyapa

Sepulang kuliah, Rani segera melangkah pulang kerumah. Sambil menunggu bus tumpangannya ia duduk menunggu di halte sambil membaca komik serial cantik yang sengaja ia bawa ke kampus. Bodo amat deh kalau ada orang yang meliriknya heran saat melihat ia yang sudah segede itu masih dengan santai membaca komik. Toh ia tidak merasa menganggu orang lain.

Setelah beberpa saat menunggu akhirnya bus yang di tunggu pun muncul. Tapi karena keasikan membaca komik, Rani sepertinya tidak menyadari. Dengan santai ia masih anteng dengan bacaanya sampai kemudian bus kembali berlalu.

Begitu menamatkan komik yang ada di tangannya Rani tersenyum puas. Lagi – lagi ending komik jepang berakhir happy ending dengan sangat romantis. Membuatnya merasa sama sekali tidak pernah bosan untuk mengoleksinya. Dengan segera komik itu ia masukan kembali kedalam tas. Pandangannya segera ia arahkan ke sekeliling. Sepi. Kenapa tidak ada seorang pun. Segera di lirik jam yang melingkar di tangan. Pukul sembilan tepat. Keningnya semakin berkerut. Kepalanya segera mendongak keatas. Menatap matahari yang jelas – jelas sudah condong kearah barat. Sejak kapan di sore hari ada pukul sembilan? Beberapa saat kemudian ia kembali mengalihkan tatapan kearah jam. Ups, pantas saja ternyata jarumnya sama sekali tidak bergerak alias jam mati. Wajar saja si, secara itu jam memang ia beli di perempatan toko kaki lima Tiga tahun yang lalu.

Akhirnya diambilnya hape dari dalam saku tas. Mencet – mencet tombol untuk sesaat. Saat menatap tanggal yang tertera, kening lagi-lagi berkerut. Dengan cepat tangannya kembali memencet satu satu tombol itu, kemudian seulas senyum terukir di bibirnya.

“Alhamdullilah, untung saja gue ketinggalan bus di tambah jam gue mati jadinya gue bisa ngutak – atik note di hape. Hufh, kalau enggak hampir aja gue lupa. Ternyata bener, bahwa segala sesuatu di dunia ini pasti ada hikmahnya,” gumam Rani pada dirinya sendiri.

Segera ia bangkit dari duduknya. Menoleh kekanan kiri. Saat matanya menemukan angkutan umum yang kebetulan lewat tanpa pikir panjang segera di stopnya. Tepat di depan Ramayana Swalayan ia turun.

Mulai dari bagian pernak – pernik, baju, sandal bahkan sampai ke aksesoris Rani terus berkeliaran. Tapi belum ada satu pun yang berhasil menarik perhatiannya. Akhirnya langkahnya di tujukan kearah pustaka. Begitu melihat novel sunshine become you milik nya Illana tan ia langsung tertarik. Di raihnya buku tersebut. Bukannya Irma sangat menyukai bacaan ya?. Sepertinya buku itu juga pas untuk di jadi kan kado.

Begitu mendapatkan apa yang ia cari Rani segera berlalu. Melanjutkan niat awalnya untuk langsung pulang kerumah. Saat bersiap untuk menyeberang jalan matanya tanpa sengaja melihat anak kecil yang berjalan di jalan. Sepertinya anak kecil itu kebingungan. Mungkin juga karena terpisah dari orang tuanya. Rani juga tidak memikirkan lebih jauh karena ia justru malah langsung berlari menarik anak itu saat mendapati sebuah mobil melaju cukup kencang dari arah berlawanan.

Saat mendapati wajah – wajah lega dari orang – orang di sekelilingnya yang kebetulan melihat kejadian tadi Rani segera bangkit berdiri karena tadi ia memang sempat jatuh terduduk saat berusah untuk menyelamatkan tu bocah. Sambil tersenyum Rani menatap kesekeliling. Namun ketika ia mau berjalan tiba – tiba ia merasa sedikit nyeri di kakinya. Begitu ia menoleh ternyata memang ada sedikit luka gores. Untuk sejenak Rani terdiam saat mendapati cairan merah yang ada dikakinya sampai beberapa saat kemudian ia kembali tergeletak. Satu – satunya yang masih mampu ia tangkap adalah suara teriakan panik di sekeliling sebelum kemudian ia benar – benar tak sadarkan diri.

Saat kembali membuka matanya, hal pertama yang Rani lihat adalah langit – langit kamar yang berwarna putih polos. Kemudian perhatiannya teralihkan kearah samping. Walau terlihat sedikit kabur tapi Rani masih bisa mengenali dengan jelas siapa sosok yang kini berdiri di dekatnya dengan raut cemas.

Tanpa perlu sok jaim atau pun sok jaga image, mulut Rani terbuka lebar. Mengabaikan raut bingung sekaligus kesel juga cemberut sosok yang ada di sampingnya yang pasti langsung mengira ia bukan sadar dari pingsan namun justru baru bangun dari tidur siang.

“Eh, loe Erwin kan? Kok loe bisa ada di sini? Terus sekarang gue lagi ada di mana nie?” tanya Rani sambil mengucek – kucek matanya.

Erwin terdiam. Bukannya menjawab justu ia malah menatap Rani dengan intens. Melihat wajah polos seperti anak kecil yang ada di hadapannya membuat nya merasa gemes. Dan sebelum sempat sebuah senyum bertenger di bibir kesadarannya keburu pulih.

“Jangan sok lupa deh,” kata Erwin berusaha terdengar sinis.

“Gue bukan sok. Tapi gue beneran lupa. Memangnya gue kenapa?” tanya Rani lagi sambil menatap keatas. Berusaha mengingat – ingat kejadian sebelumnya.

“Oh gue inget. Tadi itu gue abis bantuin anak kecil. Terus kaki gue luka. Karena gue phobia darah. Makanya gue pingsan."

“Syukur deh kalau loe inget. Makanya laen kali kalau mau pingsan liat – liat tempat dulu donk. Jangan sembarangan."

Mendengar kalimat yang baru saja di dengarnya membuat Rani sontak menoleh. Gantian menatap sinis kearah Erwin.

“Eh, dengar ya. Kalau gue bisa milih, mendingan gue nggak usah pingsan. Dasar, gini nih kalau orang udah kelewat pinter. Kalau ngomong memang suka asal njeplak,” balas Rani santai, sama sekali tak memperdulikan pelototan yang terarah kepadanya.

“Tapi kok loe bisa ada di sini?” tanya Rani lagi setelah beberapa saat terdiam.

Erwin terdiam. Tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Mulutnya terbuka tapi beberapa saat kemudian kembali tertutup. Ia bingung harus menjawab apa.

“Perasaan tadi gue nggak ada liat loe deh. Apa mungkin gue lupa ya?” sambung Rani lagi, mencoba mengingat – ingat kejadian sebelumnya.

“Sudahlah. Tidak perlu di bahas. Tadi itu gue hanya kebetulan lewat."

“O...” Rani mengangguk – angguk sambil tersenyum simpul. Erwin yang kebetulan memergoki tingkahnya merasa heran.

“Kenapa loe malah senyum – senyum sendiri?”

Rani mengeleng “Eh, ternyata loe baik juga ya?”

“Apa an si,” Erwin makin terlihat salah tingkah.

“Ma kasih ya,” Sambung Rani sambil tersenyum tulus.

“Ehem, ya sudah lah. Sepertinya loe juga baik – baik saja. Tidak ada terlihat luka yang menghawatirkan. Kalau begitu gue pulang dulu,” kata Erwin sambil berbalik.

“Eits, tunggu dulu!” kalimat Rani yang nyaris disebut teriakan menghentikan langkah Erwin. Perlahan pria itu kembali berbalik.

“Ada apa?”

“Loe antarin gue donk."

“Ha?” mulut Erwin terbuka. Tatapannya terarah lurus kearah wajah polos Rani. Ia yakin barusan ia salah dengar.

“Gue kan cewek. Abis ketabrak lagi. Masa loe tega si ninggalin gue sendirian. Lagian loe kan sudah terlanjur bantuin gue. Jangan setengah – setengah donk harusnya."

“Tapi...”.

“Ya sudah lah kalau loe nggak mau. Gue pulang sendiri aja,” potong Rani sambil berusaha bangkit. Diraihnya tas di atas meja berserta kado yang ada di sampingnya sebelum kemudian berjalan melewati Erwin yang masih berdiri terpaku memperhatikan tingkahnya yang di rasa aneh. Bagaimana bisa ada orang seperti dia. Bisa berubah pikiran dalam sekejap.

“Duh... Kok nggak ada taxsi atau angkot yang lewat si. Hu... mana kakinya masih sakit lagi,” gerut Rani sendiri sambil menoleh kekanan kiri jalanan.

“Buruan, Ayo naik?”

Rani menoleh. Merasa heran sekaligus bingung saat mendapati Erwin yang bertenger di atas motornya berhenti tak jauh darinya.

“Jiah, dia malah bengong. Buruan."

“Gue?” tunjuk Rani kearah Wajahnya sendiri. Erwin hanya memutar mata mendegaranya. Namun tak urung tangannya terulur menyodorkan helm.

“Bukannya tadi loe bilang loe nggak mau nganterin gue ya?” tanya Rani saat motor yang di kendarai sudah mulai melaju.

“Rumah loe dimana?” Erwin balik bertanya.

“Komplek BTN Bumi Asih nomor 24,” balas Rani meyebutkan alamat rumahnya walau tak urung ia merasa heran. Erwin kan sudah tau rumahnya dimana saat jatuh di got dulu. Kenapa pria itu bertanya?

Erwin terdiam sama sekali tidak berkomentar apa pun lagi. Sementar Rani yang semula berniat untuk bertanya kembali menutup mulut. Sepertinya Erwin bukan type orang yang enak di ajak ngobrol. -,-

“Erwin, sekali lagi makasih ya,” kata Rani begitu mereka telah berhenti tepat di depan rumahnya.

Lagi – lagi Erwin tidak menjawab. Hanya kepalanya yang terlihat mengangguk. Sementara kedua matanya justru malah menatap kearah rumah Rani yang terlihat sederhana namun sepertinya nyaman untuk di tempati.

“Loe mau sekalian mampir?” ajak Rani kemudian.

“Oh, Nggak usah. Makasih,” balas Erwin sambil pamit berlalu pergi. Rani hanya angkat bahu. Lagipula tadi ia hanya basa – basi. Setelah menyadari Erwin hilang dari pandangan Rani berbalik. Melangkah masuk kedalam rumah.

To Be continue. Next to cerbung Kala Cinta menyapa bagian 5
    Detail Cerpen
  • Judul Cerbung : Kala Cinta Menyapa
  • Penulis : Ana Merya
  • Twitter : @ana_merya
  • Status : Complete
  • Genre : Remaja, Romatis
  • Panjang : 1.693 Words
Ana Merya
Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~